Mmm, mengerti dari judul tulisan saya di atas?
Begini, beberapa minggu yang lalu, saya menulis beberapa mimpi di atas kertas. Memang belum sampai genap 100, tetapi dari beberapa itu, saya menulis namamu. Oke, saya bocorkan. Mimpi saya yaitu ingin menikah denganmu. Hanya kepadamu dan bersamamu. I've been thinking why i love you. You should know, it's indescribable. Im falling in love with you so easily and im sure that you are the right one. Okay, kembali kenapa dan apa hubungannya dengan judul, "1 Mimpi Berarti 100 Mimpi".
Gi, kamu tahu saya mencintaimu, kan? Saya pikir, saya harus melanjutkan mimpi-mimpi itu bersamamu. Begini maksudnya, kamu bersedia untuk menambahkan sisa mimpi yang belum tertulis, kan? Mimpi kita. Tentang apapun. Tentang berapa anak yang ingin kamu miliki. Tentang di mana kota yang akan kita tempati bersama. Tentang kota-kota indah di Indonesia bahkan luar negeri yang akan kita kunjungi. Tentang usaha-usaha yang akan kita dirikan. Tentang cita-cita saya menjadi istri yang sholehah. Tentang cita-citamu menjadi suami yang sholeh. Tentang bagaimana anak-anak kita jadikan. Saya ingin anak-anak kita menjadi penghafal Qur'an. Rasanya akan lebih dari 100 jika kita berumah tangga.
1 mimpi yang mencakup 100 mimpi. Saya hanya ingin jadi perempuan yang membuatmu ingin segera pulang ke rumah, ingin jadi perempuan yang masakannya dirindukan, ingin jadi perempuan yang sandarannya membuat nyaman, ingin jadi perempuan yang membuat kamu merasa beruntung telah menikahi saya.
Gi, mimpi saya terlalu banyak dan saya butuh kamu untuk menguatkan langkah-langkah saya yang kerap kali melemah. Saya butuh langkah kuatmu untuk menopang segala asa yang sudah saya tulis.
Kamu bersedia, ya?
I love you because you are like home to me. I love you for your patience, your genius, and your great sense of humor.
Desember 11, 2016
08:56 WIB
Sabtu, 10 Desember 2016
Sabtu, 03 Desember 2016
Jatuh Cinta Padamu
Nggg...
Hai, Gi.
Apa kabar? Basi, ya, pertanyaannya? Seperti tak bersua bertahun-tahun. Tetapi, sudahlah, jawab saja pertanyaanku. Saya rasa kamu baik-baik saja, siapa pula yang tidak baik-baik saja sudah sebegitunya saya cintai? Jelas kamu baik-baik saja, sehat wal afiat.
Saya sedang pusing bulan ini, Ujian Akhir Semester menyita waktu leha-leha, menyita pekerjaan --melamun--, dan menyita segalanya --memikirkanmu tidak--. Tetapi sekaligus saya juga sedang bahagia-bahagianya, libur panjang sebentar lagi!
O, iya, Gi, saya sebenarnya ingin sekali mengenalkan siapa kamu, yang membuat hari saya penuh dengan kegemasan-kegemasan nyebelin tapi ngangenin. Nanti saja, nanti saya akan kenalkan ke mereka. Tidak janji dan tidak waktu dekat ini, atau bahkan mungkin tidak sama sekali. Lagi-lagi, menikmati bahagia sendiri lebih menyenangkan. Ibarat matahari hanya satu, dan itu adalah milik saya seutuhnya. Barangkali, itulah jatuh cinta.
Saya sudah kelewatan batas bahagia, gumoh, mual-mual, batuk, pilek, panas dingin, sampai overdosis, dan rasanya saya ingin melanjutkan tulisan ini sambil jungkir balik. Kalian pernah coba? Saya, sih, belum.
Eh, Gi, kamu pernah merasakan kesulitan menulis ketika jatuh cinta? Tidak ada yang lebih bahaya dari seorang penulis ketika ada yang dipikirkannya tetapi tak bisa menulis, isinya hanya kamu, kamu, dan kamu.
Oke, sebentar, saya ngaca dulu.
Ini sepuluh kali lipat lebih sulit dari mata kuliah Morfologi, yang harus memikirkan kelas kata apa, perubahan makna apa, dan adakah proses morfofonemiknya. Dan dua puluh kali lipat lebih menyebalkan dari mata kuliah Teori Sastra, yang harus menganalisis novel sampai badan kurus. Bingung. Sini, saya pegangan sama kamu, biar tidak jatuh. Ini mengganggu dan merepotkan, tetapi membuat bahagia.
Kenapa saya bisa jatuh cinta padamu, ya? Padahal kamu jarang mandi. Saya berharap bisa menulis dengan detail tentangmu di sini. Kamu bukan laki-laki romantis, tetapi kamu bisa mendadak romantis hanya depan saya. Kamu juga bukan laki-laki yang suka menjadwalkan hari apa saja kita harus bertemu, tetapi kamu bisa memanfaatkan waktu luang, walaupun satu detik, hanya untuk saya. Maaf, ya, saya rewel kalau sudah rindu. Bukan segalamu saja yang saya suka, saya juga suka tetangga-tetanggamu, suasana rumahmu, dan segala tragedi-tragedi yang terjadi di Karang Tarunamu.
Banyak, banyak sekali yang ingin saya tuliskan. Tetapi karena jari kelingkingku sudah kesemutan. Jadi sudah dulu, ya, mengarangnya.
Dari aku yang mencintaimu dengan sederhana tetapi nggak nyantai. Begitu lah pokoknya.
Desember 4, 2016, 07:34 WIB
Hai, Gi.
Apa kabar? Basi, ya, pertanyaannya? Seperti tak bersua bertahun-tahun. Tetapi, sudahlah, jawab saja pertanyaanku. Saya rasa kamu baik-baik saja, siapa pula yang tidak baik-baik saja sudah sebegitunya saya cintai? Jelas kamu baik-baik saja, sehat wal afiat.
Saya sedang pusing bulan ini, Ujian Akhir Semester menyita waktu leha-leha, menyita pekerjaan --melamun--, dan menyita segalanya --memikirkanmu tidak--. Tetapi sekaligus saya juga sedang bahagia-bahagianya, libur panjang sebentar lagi!
O, iya, Gi, saya sebenarnya ingin sekali mengenalkan siapa kamu, yang membuat hari saya penuh dengan kegemasan-kegemasan nyebelin tapi ngangenin. Nanti saja, nanti saya akan kenalkan ke mereka. Tidak janji dan tidak waktu dekat ini, atau bahkan mungkin tidak sama sekali. Lagi-lagi, menikmati bahagia sendiri lebih menyenangkan. Ibarat matahari hanya satu, dan itu adalah milik saya seutuhnya. Barangkali, itulah jatuh cinta.
Saya sudah kelewatan batas bahagia, gumoh, mual-mual, batuk, pilek, panas dingin, sampai overdosis, dan rasanya saya ingin melanjutkan tulisan ini sambil jungkir balik. Kalian pernah coba? Saya, sih, belum.
Eh, Gi, kamu pernah merasakan kesulitan menulis ketika jatuh cinta? Tidak ada yang lebih bahaya dari seorang penulis ketika ada yang dipikirkannya tetapi tak bisa menulis, isinya hanya kamu, kamu, dan kamu.
Oke, sebentar, saya ngaca dulu.
Ini sepuluh kali lipat lebih sulit dari mata kuliah Morfologi, yang harus memikirkan kelas kata apa, perubahan makna apa, dan adakah proses morfofonemiknya. Dan dua puluh kali lipat lebih menyebalkan dari mata kuliah Teori Sastra, yang harus menganalisis novel sampai badan kurus. Bingung. Sini, saya pegangan sama kamu, biar tidak jatuh. Ini mengganggu dan merepotkan, tetapi membuat bahagia.
Kenapa saya bisa jatuh cinta padamu, ya? Padahal kamu jarang mandi. Saya berharap bisa menulis dengan detail tentangmu di sini. Kamu bukan laki-laki romantis, tetapi kamu bisa mendadak romantis hanya depan saya. Kamu juga bukan laki-laki yang suka menjadwalkan hari apa saja kita harus bertemu, tetapi kamu bisa memanfaatkan waktu luang, walaupun satu detik, hanya untuk saya. Maaf, ya, saya rewel kalau sudah rindu. Bukan segalamu saja yang saya suka, saya juga suka tetangga-tetanggamu, suasana rumahmu, dan segala tragedi-tragedi yang terjadi di Karang Tarunamu.
Banyak, banyak sekali yang ingin saya tuliskan. Tetapi karena jari kelingkingku sudah kesemutan. Jadi sudah dulu, ya, mengarangnya.
Dari aku yang mencintaimu dengan sederhana tetapi nggak nyantai. Begitu lah pokoknya.
Desember 4, 2016, 07:34 WIB
Langganan:
Postingan (Atom)