Jumat, 31 Juli 2015

(Bukan) Mati Rasa

Sepertinya mengerikan jika rasa sudah mati. Menulisnya saja seperti hal yang mitos. Rupanya, kini aku sedang mengalami. Sebentar, biar kuperjelas. Ini (bukan) mati rasa. Hanya tak merasakan apa-apa ketika dia datang kembali lalu pergi lagi. Seharusnya aku terluka. Tapi ini tidak. Seperti tak ada kesakitan dan hasrat ingin menangis.

Ini (bukan) mati rasa, sayang. Tak ada rasa ingin tahu kabarmu. Tak ada rasa peduli harimu. Ah, ini benar-benar tak ada cinta setelah kau tancapkan beberapa jarum biadab di hati.

Sudah ratusan hari kulewati tanpamu. Seratus pertama, aku masih sangat menginginkanmu. Seratus kedua, aku masih sangat sangat mencintaimu. Seratus ketiga, aku masih sangat peduli mencari kabarmu. Seratus keempat, tak ada yang mengingatkanku bahwa seharusnya aku masih mencintamu. Hingga detik ini aku lupa dan tak ada yang mengingatkan sampai mati rasa. Awalnya, aku berterima kasih namun tiba-tiba aku resah. Lantaran khawatir...

Aku ingatkan. Ini (bukan) mati rasa. Tak ada seorang pun yang mampu menemukan kunci hati yang sempat kubuang. Entah kemana. Aku tak bisa mencinta lagi, tak bisa percaya lagi pada lisan kaum Adam, tak ada lagi kesempatan. Aku tak tahu sampai kapan...

Aku seperti merindu seseorang, tapi tak tahu siapa yang sedang kurindu. Aku seperti mencinta seseorang, tapi tak tahu benarkah ia yang kucinta. Aku seperti menginginkan seseorang, tapi tak tahu apa ini benar atau sekadar nafsu.

Aku mungkin tak mati rasa. Hanya belum menemukan. Sampai malam ini pun, aku takut memutuskan untuk membuka hati.

Fase terbahaya; mati rasa. Seperti kepekaan hati yang putus tiba-tiba. Resah.

Bahkan untuk menulisnya pun susah. Mati rasa.

Ditulis pada
31/07/2015, 23:12 WIB
Tangerang

Ara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar