Rabu, 11 November 2015

Kehilangan - cerpen



           Aku berdiri di depan cermin dengan rambut yang berantakan, wajah pucat, dan mata yang selalu basah. Untuk tersenyum pun aku tak sanggup. Tapi pada hari itu, aku berusaha menerima kenyataan dan bangkit dari keterpurukan. Aku memakai kacamata minusku, memakai kerudung yang sudah tak sedap aromanya, dan keluar kamar. Aku berjalan dengan gontai, goyah, hati yang hancur, dan harus menembus waktu tanpamu. Terlihat kedua adikku yang sedang bermain, namun aku terus berjalan dengan langkah seberat seribu ton, mengabaikan suara tawa renyah mereka yang biasanya selalu membuat keadaanku membaik. Tapi kali ini tidak, aku berbeda tanpamu. Aku begitu takut untuk membuka mata, melihat semuanya yang telah usai. Semua tentangnya, senyumnya, tatapan teduhnya, tawa lepasnya. Aku ingin selalu bersamanya. Aku ingin dia, tetap ingin dia. Namun nampaknya takdir tak mengizinkan kita bersatu. Terkadang aku berpikir, untuk apa Tuhan menyatukan jika pada akhirnya ditemukan dengan perpisahan. Aku telah kehilangan sosoknya. Sosok yang selalu menari di puisi bahagiaku, tapi kini hanya ada duka.
            Aku terus berjalan. Dengan hati-hati aku melangkahkan kakiku, kaki yang sempat lumpuh beberapa bulan terakhir. Tak ingin kemanapun, hanya ingin ada tangis, berharap dapat menyembuhkan luka. Rindu yang selalu berkecamuk, minta diperhatikan, dan haknya untuk sekadar bertemu melarutkan bekunya sebalok rindu. Segala tentangmu, kuputar kembali memori satu per satu. Tentang kita yang dulu pernah ada. Aku ingat, saat pertama kita bertemu, membicarakan sesuatu hal bodoh hingga larut malam, dan saat kau terbaring sakit.
            “Kamu ini bagaimana, sih? Tubuhmu itu belum benar-benar sehat. Sekarang kamu malah pulang larut malam karena futsal. Dadamu sering sesak, Di. Vakumlah untuk beberapa bulan. Kamu sudah makan? Sisa obat kemarin sudah kamu minum?” ucapku tanpa menyempatkannya berbicara sekatapun.
Hal yang paling aku suka, melihat wajah kesalmu karena cerewetku soal kesehatan. Tapi sekarang wajah itu tak dapat kutemui lagi. Terlalu banyak tentangmu, Di, desahku.
Aku tiba pada sebuah taman, tempat dimana kau sering sekali membuatku kesal. Bagaimana aku tak kesal? Kau suka sekali mengerjaiku dengan kejahilan, yang menurutku itu adalah kejahilan paling jahil sedunia. Aku rindu itu, Di. Aku rindu. Aku tak bisa kehilangan kamu. Apakah kamu tahu rasanya ketika seseorang yang sangat berarti tiba-tiba pergi dari hidupmu? Aku lupa bagaimana caranya merelakan. Sedih, kecewa, marah, itu yang kudapat. Terlalu lama aku mengekang emosi ini. Berselimut dalam kenangan. Terlalu cepat kau meninggalkanku.
Tap.
Aku menghentikan langkahku, di bawah lampu taman. Lampu yang tak sebagus dulu, selepas kepergianmu. Pikiranku melayang saat kau mengatakan,
“Ra, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku tak mau masuk terlalu dalam lagi. Maafkan aku, Ra. Aku tak bisa melukai kamu, aku tak ingin. Berjanjilah untuk tidak mengingatku lagi. Maafkan, Ra. Aku harus pergi sekarang”.
Di, aku tak bisa. Aku tidak bisa. Tanpa terasa airmataku mulai mengalir mengikuti lekuk wajah. Langit seakan meredupkan birunya. Aku tak berdaya. Lemas. Remuk. Hancur. Aku buta, Di. Aku kehilangan arah.
            Aku mengikuti kemana langkah kakiku berlari. Berlari meninggalkan memori tak bertuan dalam ingatanku. Aku ingin bertemu. Aku terus berlari dan sampailah kaki ini berhenti, tepat dimana seharusnya aku berhenti. Tempat kesukaanmu, sampai kau tak ingin pulang menemui Ibumu. Kau terlihat betah sekali di sini. Aku segera berbalik arah. Takut menatapmu.
            “Hai, Yudi. Apa kabar?” tanyaku memunggunginya.
            “Yudi…” panggilku lirih.
            “Mengapa kamu tak menjawab. Aku rindu” Yudi masih diam, tenang.
Angin berhembus menggelitik telinga. Udara dinginnya menusuk tulang.
            “Yudi!” panggilku hentak.
          “Yudiii!!! Bisakah kamu menjawab sedikit sapaku! Aku hampir gila karenamu” aku meninggikan suara.
Yudi sekali lagi hanya diam, tak menjawab sepatah katapun.
            “Yudi…”
Aku menarik nafas berat.
            “Aku sayang kamu” kataku lirih.
Diam sejenak, sunyi, sepi. Airmataku telah pecah.
            “Baiklah kalau begitu, aku akan menamparmu!”
Dengan cepat aku berbalik arah, kemudian dengan penuh emosi aku tampar tanah kuburnya. Aku terus memanggilnya. Tak ada jawaban. Aku terus menamparnya, mengacak-acak, terus memanggil, teriak, emosi, hingga hanya kelelahan yang kudapat.  Aku memeluk tanahnya dengan sejatuh-jatuhnya. Kudapati hangat, tak ingin pergi. Kuharap, aku bisa menemui penggantimu, lirihku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar