Aku berdiri di depan cermin dengan rambut yang berantakan, wajah
pucat, dan mata yang selalu basah. Untuk tersenyum pun aku tak sanggup. Tapi
pada hari itu, aku berusaha menerima kenyataan dan bangkit dari keterpurukan.
Aku memakai kacamata minusku, memakai kerudung yang sudah tak sedap aromanya,
dan keluar kamar. Aku berjalan dengan gontai, goyah, hati yang hancur, dan
harus menembus waktu tanpamu. Terlihat kedua adikku yang sedang bermain, namun
aku terus berjalan dengan langkah seberat seribu ton, mengabaikan suara tawa
renyah mereka yang biasanya selalu membuat keadaanku membaik. Tapi kali ini
tidak, aku berbeda tanpamu. Aku begitu takut untuk membuka mata, melihat semuanya
yang telah usai. Semua tentangnya, senyumnya, tatapan teduhnya, tawa lepasnya.
Aku ingin selalu bersamanya. Aku ingin dia, tetap ingin dia. Namun nampaknya
takdir tak mengizinkan kita bersatu. Terkadang aku berpikir, untuk apa Tuhan
menyatukan jika pada akhirnya ditemukan dengan perpisahan. Aku telah kehilangan
sosoknya. Sosok yang selalu menari di puisi bahagiaku, tapi kini hanya ada
duka.
Aku terus
berjalan. Dengan hati-hati aku melangkahkan kakiku, kaki yang sempat lumpuh
beberapa bulan terakhir. Tak ingin kemanapun, hanya ingin ada tangis, berharap
dapat menyembuhkan luka. Rindu yang selalu berkecamuk, minta diperhatikan, dan haknya
untuk sekadar bertemu melarutkan bekunya sebalok rindu. Segala tentangmu,
kuputar kembali memori satu per satu. Tentang kita yang dulu pernah ada. Aku
ingat, saat pertama kita bertemu, membicarakan sesuatu hal bodoh hingga larut
malam, dan saat kau terbaring sakit.
“Kamu ini
bagaimana, sih? Tubuhmu itu belum benar-benar sehat. Sekarang kamu malah pulang
larut malam karena futsal. Dadamu sering sesak, Di. Vakumlah untuk beberapa
bulan. Kamu sudah makan? Sisa obat kemarin sudah kamu minum?” ucapku tanpa
menyempatkannya berbicara sekatapun.
Hal yang paling aku suka, melihat wajah kesalmu karena cerewetku
soal kesehatan. Tapi sekarang wajah itu tak dapat kutemui lagi. Terlalu
banyak tentangmu, Di, desahku.
Aku tiba pada sebuah taman, tempat dimana kau sering sekali
membuatku kesal. Bagaimana aku tak kesal? Kau suka sekali mengerjaiku dengan
kejahilan, yang menurutku itu adalah kejahilan paling jahil sedunia. Aku rindu
itu, Di. Aku rindu. Aku tak bisa kehilangan kamu. Apakah kamu tahu rasanya
ketika seseorang yang sangat berarti tiba-tiba pergi dari hidupmu? Aku lupa
bagaimana caranya merelakan. Sedih, kecewa, marah, itu yang kudapat. Terlalu
lama aku mengekang emosi ini. Berselimut dalam kenangan. Terlalu cepat kau
meninggalkanku.
Tap.
Aku menghentikan langkahku, di bawah lampu taman. Lampu yang tak
sebagus dulu, selepas kepergianmu. Pikiranku melayang saat kau mengatakan,
“Ra, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku tak mau masuk terlalu dalam
lagi. Maafkan aku, Ra. Aku tak bisa melukai kamu, aku tak ingin. Berjanjilah
untuk tidak mengingatku lagi. Maafkan, Ra. Aku harus pergi sekarang”.
Di, aku tak bisa. Aku tidak bisa. Tanpa terasa airmataku mulai
mengalir mengikuti lekuk wajah. Langit seakan meredupkan birunya. Aku tak
berdaya. Lemas. Remuk. Hancur. Aku buta, Di. Aku kehilangan arah.
Aku mengikuti
kemana langkah kakiku berlari. Berlari meninggalkan memori tak bertuan dalam
ingatanku. Aku ingin bertemu. Aku terus berlari dan sampailah kaki ini
berhenti, tepat dimana seharusnya aku berhenti. Tempat kesukaanmu, sampai kau
tak ingin pulang menemui Ibumu. Kau terlihat betah sekali di sini. Aku segera
berbalik arah. Takut menatapmu.
“Hai, Yudi. Apa
kabar?” tanyaku memunggunginya.
“Yudi…” panggilku
lirih.
“Mengapa kamu tak
menjawab. Aku rindu” Yudi masih diam, tenang.
Angin berhembus menggelitik telinga. Udara dinginnya menusuk
tulang.
“Yudi!” panggilku
hentak.
“Yudiii!!! Bisakah
kamu menjawab sedikit sapaku! Aku hampir gila karenamu” aku meninggikan suara.
Yudi sekali lagi hanya diam, tak menjawab sepatah katapun.
“Yudi…”
Aku menarik nafas berat.
“Aku sayang kamu”
kataku lirih.
Diam sejenak, sunyi, sepi. Airmataku telah pecah.
“Baiklah kalau
begitu, aku akan menamparmu!”
Dengan cepat aku berbalik arah, kemudian dengan penuh emosi aku
tampar tanah kuburnya. Aku terus memanggilnya. Tak ada jawaban. Aku terus
menamparnya, mengacak-acak, terus memanggil, teriak, emosi, hingga hanya
kelelahan yang kudapat. Aku memeluk
tanahnya dengan sejatuh-jatuhnya. Kudapati hangat, tak ingin pergi. Kuharap,
aku bisa menemui penggantimu, lirihku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar