Jumat, 24 Oktober 2014

Berlabuh

Dear senjaku, akhirnya perahuku sudah berlabuh.

Entah apa yang membuatku memilihnya menjadi partner dalam merajut mimpi-mimpi besarku. Kau tahu? Luka-lukaku dibasmi olehnya dalam sekejap. Tuhan mengirim malaikat untukku. Aku merasakan rindu yang tulus darinya. Mata yang penuh penyesalan dan siap membahagiakanku. Dia sangat mencintaiku. Aku merasakan bahwa ia jujur dan benar-benar menyesal membuatku luka pada saat itu.

Aku tak bilang bahwa aku jatuh cinta padanya, mungkin belum.

Ia selalu ada saat aku membutuhkan sandaran. Dia selalu memberiku semangat. Bahkan dia menyuruhku untuk mempertahankanmu. Dia sangat baik, Di.

Ada satu yang harus kamu tahu. Inspirasiku kembali berpendar. Saat kemarin kau mulai meredupkannya dengan ketegaanmu.

Katamu mungkin terlalu cepat, atau hatiku mudah melupakan. Tidak. Itu salah. Tuhan Maha Baik. Ia tak ingin hariku dipenuhi air mata. Sungguh membosankan bukan? Doaku didengar olehnya.

Kau bagaimana? Perahumu sudah berlabuh? Terima kasih sudah memberiku tawa selama ini. Semoga kau tak pernah sepi dan selalu bahagia. Kau orang yang istimewa, Di.

Ada yang masih kusembunyikan, biarkan ini menjadi rahasia hati.

Tertanda,
Ara

11:17 WIB, 25 Oktober 2014

Kamis, 16 Oktober 2014

Layang-Layangku (Hampir) Rusak

Tarik - ulur - tarik. Kencang. Ulur lagi - tarik lebih kencang. Kendali stabil. Peganglah! Kemudian tarik - ulur - tarik lagi, begitu seterusnya. Tujuannya apa lagi? Jika untuk mempertahankan layang-layang tetap di sana. Terbang bersama awan.

Kita telah menerbangkan layang-layang bersama. Aku yang memegang layang-layangnya dan kau yang mengulurnya terbang tinggi. Kemudian bersama-sama kita menjaganya. Kau terlihat sibuk mengulur bahkan sesekali menggulung benang di kaleng bekas cat itu. Aku tersenyum melihatmu. Layang-layang kita menawan di atas sana. Kadang aku yang mengendalikan layang-layang itu tetap stabil. Begitu seterusnya, bergantian.

Lalu aku melihat wajahmu begitu lelah, jenuh, untuk senyum pun kau segan. Kau yang sedang memegang kaleng benang, tiba-tiba kau melemparnya dan kau berbalik badan meninggalkanku sendiri. Layang-layang ini bagaimana? Aku tak ingin meninggalkannya.

Turunkan dulu. Baru kita pulang...

Teriakku dari kejauhan. Namun sia-sia, untuk melirik pun dia tidak. Aku tak bisa menurunkannya sendiri. Layang-layang ini diterbangkan bersama-sama. 

Wusss...

Angin semakin banyak di senja hari. Aku semakin tak kuat menahannya sendiri. Aku tak ingin layang-layangku rusak. Layang-layang kita.

Kau semakin jauh. Hilang. Dimakan senja yang semakin redup. Aku kelelahan meneriakimu. Hampir menangis.

Untuk sekali lagi,
Aku menatap lamat-lamat layang-layang kita. Air mataku jatuh, setitik dua titik.

Kau tega...

Lirihku kesakitan.

Sebelum kita menerbangkannya hingga menjulang tinggi menawan. Kau bilang, akan menjaga layang-layang itu. Bukan kau saja, aku pun demikian. Kita kerjasama menjaga layang-layang itu tetap di sana. Namun apa...

Aku bertekad. Tetap di sini. Menunggumu memegang kendali layang-layang ini. Lalu bersama lagi kita menjaganya.

Aku mohon, kembalilah dengan tujuan menetap. Bukan untuk mengulur hingga habis benang lalu layang-layang lepas terbawa angin. Jangan. Aku mohon, kembalilah untuk menetap.

Ingat, aku tak pernah mengulurnya sampai habis. Layang-layang ini hampir rusak. Aku takut kelelahan, aku benar-benar sendiri. Menunggumu.

Penampilanku yang kumuh, kusam, mata sayu berair, dan dengan kerudung merah muda yang sudah sangat kotor. Membuat mereka yang melewatiku mengataiku bodoh. Sungguh aku hancur, begitu sakit menusuk tembus. Aku selalu menjawab, "Lelakiku akan kembali. Dia akan berubah". Lalu menangis lagi, kuat lagi, tersedu lagi, semangat lagi, terpuruk lagi, dan ah seterusnya selalu begitu. Sungguh melelahkan mencintai lelaki itu.
Meskipun aku tutup telinga rapat. Aku selalu saja mendengar kicauan mereka yang menyuruhku untuk melepas layang-layang itu. Ah! Andai saja aku tak sedang memegang kendali layang-layang ini, sudah aku timpuk dengan batu yang di sampingku. Menjengkelkan.

Mengertilah...
Percayalah...
Bertahanlah...

Layang-layang ini akan diturunkan bersamanya. Lalu diperbaiki bersama, kemudian menerbangkannya lagi.

Layang-layangku yang hampir rusak ini, masih kupegang kendali. Ya, layang-layang kita lebih tepatnya.

Salam,
Ara

20:49 WIB, 16 Oktober 2014

Kamis, 09 Oktober 2014

Menjadi Perempuan

Perempuan,
Bukanlah wanita apalagi cewek.

Perempuan,
Dari namanya ia memiliki kasih sayang dan juga sangat terhormat.

Perempuan,
Rambutnya yang kata orang adalah mahkota. Bahkan Tuhan memerintahkan untuk menjaga mahkota itu agar tetap berkilau.

Perempuan,
Matanya yang terkadang sangat bahaya. Tajam dan dalam, siapapun bisa jatuh cinta padanya. Hanya karena terpana.

Perempuan,
Pipinya yang kemerahan membuat orang yang melihatnya begitu manisnya dia saat tersipu.

Perempuan,
Bibirnya yang cantik ketika tersenyum membuat siapapun melihatnya ikut bahagia -- hingga jatuh cinta pada pandangan pertama.

Perempuan,
Siapalah yang tak kenal sosoknya? Selalu ribut dengan urusan perasaan, harapan, dan air mata. Bahkan kebohongan tak jauh dari perempuan saat ia terluka. Ya, tersenyum saat terluka. Itu yang sering perempuan katakan.

Aku adalah si perempuan. Si melankolis sejati. Selalu bergejolak dengan hati. Kata orang aku adalah perindu akut.

Aku adalah si perempuan. Si melankolis sejati. Memperlakukan setiap orang bukan bermaksud berlebihan, tapi selalu mengistimewakan. Siapapun dia...

Aku adalah si perempuan. Si melankolis sejati. Selalu mengalah dan pasrah, hanya untuk membahagiakan sosok yang dicintainya.

Hati seorang perempuan, si calon Ibu. Berada di dalam tubuh, terletak dalam rongga perut sebelah kanan, tepatnya di bawah diafragma. Itu kata wikipedia. Namun kata si perempuan hati berada di lorong sepi, jutaan angan dan harapan melangit sepanjang lorong. Kadang temannya si hati, yaitu si otak tak jarang diabaikan, sungguh malang.

Perempuan,
Senang dengan drama. Apapun kejadian ia jadikan drama. Maka tak jarang banyak lelaki berkata, perempuan mudah menangis. Namun jika lelaki memahami dramanya si perempuan, beruntunglah si lelaki ia bisa mengerti arti diamnya perempuan.

Tentang airmata,
Perempuan memiliki kekuatan terampuh di dunia. Ya, airmata. Butiran kecil mengkilap yang penuh makna. Airmata jatuh biasanya karena ada yang menyambar bagian hati. Entah sesuatu yang merusak harapan atau sesuatu yang indah hingga hati tak bisa menampung, akhirnya jatuhlah si airmata.

Begitu bangganya aku menjadi perempuan,
Pikirannya yang selalu melangkah lebih jauh dan berpikir begitu maju. Siapapun ingin dibuatnya bahagia. Siapapun ingin dicintai olehnya. Kelembutan, ketulusan, kesabaran, ada semua pada si perempuan.

Perempuan itu bukan lemah. Namun perempuan terlalu kuat. Pahamilah kami...

Ingatlah,
Jangan pernah membuatnya terluka. Karena doa si perempuan begitu dahsyat, apapun ia selalu menghadirkan hati. Nanti kau kualat :)

Aku adalah si perempuan. Yang selalu mencintaimu dengan segenap perasaan, harapan, dan air mata. Akulah melankolis sejati.

Tuan,
Jaga Ibumu sebagaimana dulu Ibumu seorang perempuan yang menjaga kekasihnya. Kekasihnya hingga sekarang.

Tuan,
Jaga hatimu sebagaimana aku si perempuan yang selalu menjaga hati untukmu.

Jadikan aku perempuanmu...

Salam,
Salah satu perempuan di dunia,
Ara.

22:13 WIB, 9 Oktober 2014

Rabu, 08 Oktober 2014

Rinduku Membeludak (lagi)

Apakah aku takut dengan laki-laki? Apakah hanya Ayahku saja yang baik, yang menyayangiku seutuhnya. Apa karena alasan aku adalah darah dagingnya? Lalu apakah aku harus menjadi darah daging laki-laki itu dulu agar aku merasakan laki-laki baik?

Perempuan berpikir dengan perasaan. Laki-laki berpikir dengan logika. Logika? Benarkah? Aku bahkan hampir tak percaya lelaki benar-benar berpikir dengan logika. Jika betul, logika mereka untuk mengerti apa? Jelaskan padaku...

Jika kau tanya serupa apa rinduku pada laki-laki itu? Akan kujawab, seperti hujan. Butirannya tak terhingga. Rinduku melangit, untuk kesekian kalinya...

Tapi,
Tapi aku takut dengan laki-laki. Hati yang berserakan. Ada luka di sana. Sakit. Sakit sekali. Bagaimana dengan rinduku? Bagaimana menolong hatiku yang selalu dihujam rindu yang kurang ajar?

Waktu demi waktu. Malam demi malam. Hingga pagi lagi. Kau tak kunjung muncul. Aku justru takut, kau tak akan pulang. Hilang. Tak ada kau lagi, sama sekali. Inikah masanya? Merendam kenyataan pahit. Hancur.

Bagaimana mungkin perempuan ini yang sudah hampir mati masih kuat mengangkat tangan? Berdoa untuk laki-laki. Membentang harapan ia akan pulang. Bagaimana mungkin itu terjadi?

Di balik layar. Aku miris. Meringis. Sejadi-jadinya tangis. Kesakitan...

Kau tahu, tuan? Perempuan ini sungguh aneh. Bersama gelap malam, di sudut kamar. Kadang tertawa, kadang menangis. Dihantui bayangmu. Berantakan. Kini adakah pahlawan yang memperbaiki ini semua?

Kau tahu, tuan? Perempuan ini sakit. Jika ada yang berkata kau sudah tak mencintaiku. Sakit menusuk hingga tembus ke langit, melukai bulanku. Dugaan mereka membuatku lemas. Tangisan merengek ingin di suap.

Aku pun juga rindu pada wajah meronaku. Saat aku dibuat meledak oleh sapaanmu. Aku pun juga rindu pada mataku yang basah. Saat aku dibuat menangis bahagia oleh senyum tulusmu. Aku rindu semua. Semuanya yang (hampir) hilang.

Aku takut...
Aku takut kehilangan sosokmu. Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Menikmati setiap kata sendirian. Aku rindu, aku rindu berbagi kata denganmu. Apakah kau merinduinya?

Ibu,
Aku ingin bumiku pulang...
Ada banyak yang ingin kutanyakan, soal matematika.

Ibu,
Aku ingin senjaku menjingga lagi...

Pulanglah,
Aku lelah. Sungguh...

Aku rindu pada satu tatapan kita tanpa bicara.

Aku tak sedang bercanda perihal merinduimu.

Salam,
Aravinda Kusuma Arrafah

22:53 WIB, 8 Oktober 2014

Aku Demam, Di

Hai Di, apa kabar? Kau sehat senja ini? Ohya, sudah senja ke berapa ya aku melewati tanpamu? Selama ini kunikmati senja sendirian. Kau tahu? Senja tak indah selama aku tanpamu.

Aku demam, Di. Sekarang aku terbaring sakit. Beberapa hari ini aku tak fokus pada kesehatanku. Justru aku fokus pada bagaimana aku bertahan. Aku tak berani jika harus bicara, "Tetap tinggal, Di". Aku hanya berani bicara, "Pergilah jika kau mau".

Saat seperti ini, aku ingat saat kau terbaring lemah. Kau sakit pada saat itu. Kata dokter, gejala demam berdarah. Ah, jika kau tahu bagaimana hatiku saat itu? Aku gelisah. Mata sayumu, wajah pucatmu, membuat hatiku teriris. Aku sayang padamu. Sungguh. Kau tak banyak bicara. Hanya sesekali kau menatapku, lalu terlelap lagi. Tak ada yang lebih menyedihkan ketika orang yang kita sayang terbaring sakit, hanya dapat mengkhawatirkannya -- dari jauh.

Aku merindukanmu. Aku rindu semua kejadian yang sering membuatku menangis -- terlalu bahagia.

Jika kau baca tulisan ini. Aku minta doamu, agar kesehatanku kembali pulih. Jangan jadikan aku seperti zooplankton ya. Kata Tere Liye, "Zoonplankton dimakan oleh ikan kecil, ikan kecil dimakan ikan sedang, ikan sedang dimakan ikan besar, dan ikan besar akhirnya dimakan oleh hiu. Lu persis berada di strata terbawah piramida makanan".

Kau berjanji, untuk selalu jaga kesehatanmu. Sejak kejadian itu sudah 10 hari tertinggal, jadi aku tak bisa memantau kesehatanmu. Kau tahu diriku bukan? Aku perempuan yang mempunyai radar kecemasan yang tinggi. 

Salam,
Perempuan(mu).

16:03 WIB, 20 September 2014

Selasa, 07 Oktober 2014

Bumi Benar-Benar Berputar

Senja ini aku merenungkan sebuah bumi. Kini, aku sungguh mengerti makna dari "Bumi Berputar". Teori bumi berputar membuat diri ini tertarik untuk menuliskannya.

Setiap manusia memiliki putaran bumi yang berbeda. Kadang ada yang masih di bawah, di atas, di samping, atau  entah di mana. Yang jelas, bumi setiap manusia berbeda. Saat ini pasti ada yang pelan-pelan berputar kembali ke atas, atau justru ke bawah. Apapun putarannya, jangan lupa kita bersyukur. Karena Tuhan yang telah memutarnya. Pencipta si bumi.

Kita tak akan pernah bisa memaksa bumi untuk berhenti. Dia akan tetap berputar tanpa persetujuan manusia. dan sesungguhnya matahari tak pernah tenggelam. Ia hanya terbit di bagian bumi lain. Putaran bumi membuat kita bersabar dan mengerti makna dari kehidupan. Memerlukan hati yang ikhlas dan damai untuk menikmati setiap putarannya.

Kita tak pernah tahu esok akan berputar ke arah mana. Entah itu kesedihan, kekecewaan, atau kesenangan. Kita hanya perlu menikmatinya. Bukan berarti bintang kita hilang, bumi hanya sedang berputar.

Aku sungguh bahagia mendengar kabar-kabar yang membahagiakan dari mereka. Bumi mereka kembali. Bumi mereka sedang berputar ke atas.Pelan-pelan matahari mereka terbit. Senyuman dan tawa mereka kembali merekah. Semoga ketika bumi mereka kembali ke bawah, ia tahu harus bersandar kepada siapa. Mempunyai cukup perbekalan untuk tetap bersyukur. Kau tak bisa atau memaksa bumimu berhenti sehingga kau tetap di atas, selalu siaplah. Karena bumi benar-benar berputar.

Perihal kita; entah bagian bumi mana kita berada. Kau tetap bintangku.

Salam,
Raa.

17:34 WIB, 7 Oktober 2014

Jumat, 03 Oktober 2014

Aku Tahu...

Selamat pagi kamu yang lebih dulu bangun dari matahari. Aku masih di sini -- mencintaimu sangat hujan. Aku rindu...

Gusti Allah...

Terima kasih atas segala yang Engkau beri. Akulah wanita paling bersyukur pagi ini. Sungguh tak cukup aku merangkainya dalam kata sederhanaku.

Aku tahu...
Bintangku benar-benar masih di sana. Bumi benar-benar hanya sedang berputar.

Aku tahu...
Kau akan kembali, tuan. Kau akan pulang. Benar-benar pulang. Dan akhirnya menetap.

Aku tahu...
Tuhan tak akan membiarkanku merasakan pilu. Sungguh, aku hanya butuh sabar yang besar. Hati, perbesar lagi tabahmu...

Aku tahu...
Kita akan kembali menikmati senja. Kau di sana dan aku di sini. Memanjat doa-doa sehingga terbentang di jingga.

Aku tahu...
Rinduku tak sendirian. Sujud syukurku pada-Mu atas segala cinta.

Aku tahu...
Semua ini akan berbuah manis. Aku hanya perlu menikmati prosesnya, dan bersyukur.

Aku tahu...
Perjuanganku yang hanya sendiri, kini tertawa. Berjuanglah wahai hati, dunia tak akan mengerti jika kau hanya diam.

Aku bahagia...
Tersenyum -- hingga tak sanggup aku membendung butir kilau dari mataku.

Kau, tetaplah di hati...
Aku sungguh mencintaimu.

5:00 WIB, 4 Oktober 2014