Tarik - ulur - tarik. Kencang. Ulur lagi - tarik lebih kencang. Kendali stabil. Peganglah! Kemudian tarik - ulur - tarik lagi, begitu seterusnya. Tujuannya apa lagi? Jika untuk mempertahankan layang-layang tetap di sana. Terbang bersama awan.
Kita telah menerbangkan layang-layang bersama. Aku yang memegang layang-layangnya dan kau yang mengulurnya terbang tinggi. Kemudian bersama-sama kita menjaganya. Kau terlihat sibuk mengulur bahkan sesekali menggulung benang di kaleng bekas cat itu. Aku tersenyum melihatmu. Layang-layang kita menawan di atas sana. Kadang aku yang mengendalikan layang-layang itu tetap stabil. Begitu seterusnya, bergantian.
Lalu aku melihat wajahmu begitu lelah, jenuh, untuk senyum pun kau segan. Kau yang sedang memegang kaleng benang, tiba-tiba kau melemparnya dan kau berbalik badan meninggalkanku sendiri. Layang-layang ini bagaimana? Aku tak ingin meninggalkannya.
Turunkan dulu. Baru kita pulang...
Teriakku dari kejauhan. Namun sia-sia, untuk melirik pun dia tidak. Aku tak bisa menurunkannya sendiri. Layang-layang ini diterbangkan bersama-sama.
Wusss...
Angin semakin banyak di senja hari. Aku semakin tak kuat menahannya sendiri. Aku tak ingin layang-layangku rusak. Layang-layang kita.
Kau semakin jauh. Hilang. Dimakan senja yang semakin redup. Aku kelelahan meneriakimu. Hampir menangis.
Untuk sekali lagi,
Aku menatap lamat-lamat layang-layang kita. Air mataku jatuh, setitik dua titik.
Kau tega...
Lirihku kesakitan.
Sebelum kita menerbangkannya hingga menjulang tinggi menawan. Kau bilang, akan menjaga layang-layang itu. Bukan kau saja, aku pun demikian. Kita kerjasama menjaga layang-layang itu tetap di sana. Namun apa...
Aku bertekad. Tetap di sini. Menunggumu memegang kendali layang-layang ini. Lalu bersama lagi kita menjaganya.
Aku mohon, kembalilah dengan tujuan menetap. Bukan untuk mengulur hingga habis benang lalu layang-layang lepas terbawa angin. Jangan. Aku mohon, kembalilah untuk menetap.
Ingat, aku tak pernah mengulurnya sampai habis. Layang-layang ini hampir rusak. Aku takut kelelahan, aku benar-benar sendiri. Menunggumu.
Penampilanku yang kumuh, kusam, mata sayu berair, dan dengan kerudung merah muda yang sudah sangat kotor. Membuat mereka yang melewatiku mengataiku bodoh. Sungguh aku hancur, begitu sakit menusuk tembus. Aku selalu menjawab, "Lelakiku akan kembali. Dia akan berubah". Lalu menangis lagi, kuat lagi, tersedu lagi, semangat lagi, terpuruk lagi, dan ah seterusnya selalu begitu. Sungguh melelahkan mencintai lelaki itu.
Meskipun aku tutup telinga rapat. Aku selalu saja mendengar kicauan mereka yang menyuruhku untuk melepas layang-layang itu. Ah! Andai saja aku tak sedang memegang kendali layang-layang ini, sudah aku timpuk dengan batu yang di sampingku. Menjengkelkan.
Mengertilah...
Percayalah...
Bertahanlah...
Layang-layang ini akan diturunkan bersamanya. Lalu diperbaiki bersama, kemudian menerbangkannya lagi.
Layang-layangku yang hampir rusak ini, masih kupegang kendali. Ya, layang-layang kita lebih tepatnya.
Salam,
Ara
20:49 WIB, 16 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar