Rabu, 08 Oktober 2014

Rinduku Membeludak (lagi)

Apakah aku takut dengan laki-laki? Apakah hanya Ayahku saja yang baik, yang menyayangiku seutuhnya. Apa karena alasan aku adalah darah dagingnya? Lalu apakah aku harus menjadi darah daging laki-laki itu dulu agar aku merasakan laki-laki baik?

Perempuan berpikir dengan perasaan. Laki-laki berpikir dengan logika. Logika? Benarkah? Aku bahkan hampir tak percaya lelaki benar-benar berpikir dengan logika. Jika betul, logika mereka untuk mengerti apa? Jelaskan padaku...

Jika kau tanya serupa apa rinduku pada laki-laki itu? Akan kujawab, seperti hujan. Butirannya tak terhingga. Rinduku melangit, untuk kesekian kalinya...

Tapi,
Tapi aku takut dengan laki-laki. Hati yang berserakan. Ada luka di sana. Sakit. Sakit sekali. Bagaimana dengan rinduku? Bagaimana menolong hatiku yang selalu dihujam rindu yang kurang ajar?

Waktu demi waktu. Malam demi malam. Hingga pagi lagi. Kau tak kunjung muncul. Aku justru takut, kau tak akan pulang. Hilang. Tak ada kau lagi, sama sekali. Inikah masanya? Merendam kenyataan pahit. Hancur.

Bagaimana mungkin perempuan ini yang sudah hampir mati masih kuat mengangkat tangan? Berdoa untuk laki-laki. Membentang harapan ia akan pulang. Bagaimana mungkin itu terjadi?

Di balik layar. Aku miris. Meringis. Sejadi-jadinya tangis. Kesakitan...

Kau tahu, tuan? Perempuan ini sungguh aneh. Bersama gelap malam, di sudut kamar. Kadang tertawa, kadang menangis. Dihantui bayangmu. Berantakan. Kini adakah pahlawan yang memperbaiki ini semua?

Kau tahu, tuan? Perempuan ini sakit. Jika ada yang berkata kau sudah tak mencintaiku. Sakit menusuk hingga tembus ke langit, melukai bulanku. Dugaan mereka membuatku lemas. Tangisan merengek ingin di suap.

Aku pun juga rindu pada wajah meronaku. Saat aku dibuat meledak oleh sapaanmu. Aku pun juga rindu pada mataku yang basah. Saat aku dibuat menangis bahagia oleh senyum tulusmu. Aku rindu semua. Semuanya yang (hampir) hilang.

Aku takut...
Aku takut kehilangan sosokmu. Sampai kapan aku akan terus seperti ini? Menikmati setiap kata sendirian. Aku rindu, aku rindu berbagi kata denganmu. Apakah kau merinduinya?

Ibu,
Aku ingin bumiku pulang...
Ada banyak yang ingin kutanyakan, soal matematika.

Ibu,
Aku ingin senjaku menjingga lagi...

Pulanglah,
Aku lelah. Sungguh...

Aku rindu pada satu tatapan kita tanpa bicara.

Aku tak sedang bercanda perihal merinduimu.

Salam,
Aravinda Kusuma Arrafah

22:53 WIB, 8 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar