Selasa, 29 September 2015

Hanya Rindu

Orang yang paling diam, paling tenang, padahal sejatinya ia meronta sunyi dalam keramaian. Itu rindu.

Orang yang paling ceria, paling gemar bercanda ria, padahal sejatinya ia memiliki hati yang harus dihibur. Itu rindu.

Orang yang paling bijak, paling senang memberi nasihat, selalu menjadi tempat bercerita, padahal sejatinya ia butuh sandaran yang kokoh di sampingnya. Itu rindu.

Hanya rindu. Tenanglah, hanya sebongkah rindu sederhana. Ia tidak beringas.

Kudapati semua tulisanku sendirian. Seperti hilang nyawa semenjak kau tak lagi kutemui di malam hari. Ternyata aku pun merasa sendirian. Merasa sepi. Aku ingin kamu.

Hanya rindu. Ah, aku rindu. Sungguh. Aku tak ingin bercanda. Aku benar rindu, tuan.

Mencintaimu dengan sembunyi tak pernah menyenangkan. Merindumu pun begitu, harus sembunyi. Tak ada yang menyenangkan. Sayat pisau selalu menggores hati. Pelan namun tepat.

Aku sendiri, diteriaki sepi. Dibelenggu rindu. Memejam mata, bayangmu jelas. Menghirup kenangan. Pilu. Aku rindu...

Zikir cinta tak pernah henti kulantunkan. Berusaha sekuat mungkin menghilangkan wajah dari khayalku yang tak menginginkan keberadaanku. Tapi, aku masih ingin kamu. Bagaimana dengan rindu?

Tuan, kau tak merasakan apa-apa? Saat aku mencuri-curi pandang, saat aku memandangmu lamat, saat aku mendapatimu tertawa dengan selainku. Kau tak merasakan hadirku? Ya Tuhan, sesulit inikah menjaga cinta tetap diam? Rindu ini sederhana, namun tak biasa. Entahlah, harus kusebut apa rindu ini.

Maafkan aku yang terlalu cepat mengartikan semua perlakuanmu, aku tidak menyadari, bahwa kamu pun ke yang lain juga seperti kau memperlakukanku. Tapi percayalah, aku rindu itu. Bukan, bukan merindui yang itu. Aku merindu firasatku yang tak ada perempuan selain diriku. Merindui firasat bahwa kau memperlakukanku paling istimewa.

Hanya rindu dan harus kutuliskan. Ingin kusampaikan, tapi tidak. Aku mengurungkan rindu ini, hingga semuanya sudah siap. Aku akan jaga kesederhanaan rinduku ini yang semakin tak terlihat, terbelakang, terkoyak sepi, menjerit sunyi.

Ditulis pada,
30/09/2015, 05:44 WIB
Tangerang
Ara

Selasa, 22 September 2015

Lebih dari itu...

Kau tahu apa yang lebih menyakitkan dari patah hati?
Bertahan untuk tidak mengungkapkan. Bahkan lebih dari itu.

Kau tahu apa yang lebih memilukan dari kehilangan?
Bertahan untuk tidak jujur dari sebenarnya. Bahkan lebih dari itu.

Kau tahu apa yang lebih menyedihkan dari kerinduan?
Bertahan untuk tidak bicara, dari cinta yang seharusnya dibicarakan. Bahkan lebih dari itu. Sekali lagi, sakitnya melebihi dari itu.

Seharusnya aku berhenti menebak isi hatimu, dan mungkin juga aku harus berhenti dari segala tentangmu. Tapi hati ini terus meronta menyebut nama yang di hatinya tak ada namaku.

Kau indah, dan aku jauh dari keindahan. Memintamu seperti aku tak tahu diri pada Tuhan. Meminta ciptaan-Nya yang sedangkan diri ini begitu tak pantas bersanding denganmu.

Bertahan pada suasana yang tidak baik-baik saja. Membuat aku meronta kesakitan di balik rahasia. Sakitnya begitu memilukan. Ini semua dalam masalah. Hati ini dalam masalah. Semua tidak baik-baik saja, tuan. Aku kesakitan. Sakitnya lebih dari itu...

Jangan terbawa perasaan jika kau membaca tulisanku yang satu ini. Perempuan ini senang menghiperbolakan sesuatu. Seiring waktu kau akan terbiasa dengan ke-melankolisan-ku. Perempuan ini hanya senang menulis apa yang sedang ia rasakan. Perempuan ini menyadari satu hal, "Jangan terlalu berharap. Jika hari ini membahagiakan, bisa jadi esok hari mengecewakan. Tetaplah menjadi seorang yang selalu bersyukur dan ikhlas terhadap sesuatu yang terjadi".

Adalah mencintaimu; bahagia atau kecewa adalah salah satu bentuk yang harus kuikhlaskan. Tuhan selalu mempunyai alasan, dan mencintaimu adalah anugerah dari Tuhan.

Mencintaimu dalam diam, memang menyakitkan. Bahkan lebih dari itu. Tetapi tenanglah, perempuan ini selalu tahu cara mengendalikannya, yaitu dengan sebuah doa sederhana, karena itulah penghubung terbaik dalam kamus kehidupan.

Ditulis pada,
22/09/2015, 17:26 WIB
Tangerang
Ara

Sabtu, 19 September 2015

Mengemas Kembali



Seharusnya cinta ini kujaga sebaik-baiknya. Tidak ada ucapan yang keluar seabjad pun. Tetap terbalut dengan doa-doa malamku. Tetap berada di kotak rahasia hidupku. 

Seharusnya cinta ini melangit sebelum ia membumi. Tidak ada ceceran yang keluar dari hati. Tetap tersusun dengan susunan yang rapi. Tetap berada di tempat yang Allah cintai.

Aku harus mengemas kembali yang sudah terlewati. Menata kembali cinta yang sempat aku nodai. Biarkan cinta ini terus sembunyi, hingga Allah izinkan kapan ia akan keluar dari hati. Lalu berorasi.

Aku harus mengemas kembali. Mengemas cinta dengan kemasan sebaik-baiknya, dengan kualitas tertinggi, untuk kelak dia yang bersanding denganku tegak berdiri. 

Wahai hati, mari berkemas kembali. Semuanya yang sudah dikotori. Oleh diri yang tak tahu diri.
Wahai hati, mari berkemas kembali. Menyusun susunan hingga tertata rapi. Pada ruang yang sudah lama mati.
Wahai hati, mari berkemas kembali. Menjaga cinta hingga halal nanti. Raih semua yang Allah ridhai.
Wahai hati, simpan semua di almari. Jangan lupa kau kunci. Karena suatu waktu pasti nafsu akan datang menghampiri.

Untuk kamu yang kucintai, semoga terus berlatih untuk menjaga hati. Baik-baiklah ketika setan datang menghampiri. Kuatkan diri untuk tetap pada jalan yang Allah cintai. 

Semoga keistiqomahanmu terus bertambah semakin hari, komitmen terjaga baik, dan kesholehanmu bertambah lagi dan lagi.

Kelak, kau jangan lupa mengajakku untuk membangun rumah di Surga nanti. Semoga Allah izinkan kamu berdiri di sampingku, menjadi lelaki yang akan mencintaiku setulus hati.

Segala bentuk cinta dan rindu telah kusampaikan pada Illahi, tidurlah lebih awal malam ini, barangkali Allah menyampaikannya melalui mimpi.

Sekali lagi, sabarlah wahai hati. Ayo mulai mengemas kembali.

Ditulis pada,
19/09/2015, 21:23 WIB
Tangerang
Ara

Kamis, 17 September 2015

Aku (tak) Kalah

Aku seperti bumi dan kau matahari.
Aku seperti ilalang dan kau rumput segar.
Aku seperti lumpur dan kau air jernih.

Aku merasa kalah, tapi tak ingin menang.
Aku mencintaimu sudah begitu tenang.
Jangan kau buat aku semakin kunang.
Tidak memiliki, tapi seperti ada yang hilang.
Kau semakin hari selalu melayang, hingga membuat kepalaku kepayang.
Kau melekat erat pada bayang.
Sungguh tak ingin kelak kau hanya menjadi bagian kenang.

Aku merasa kalah, tapi tak ingin menang. Ini bukan perlombaan. Ini bukan kompetisi memenangkan sesuatu. Tenanglah, aku hanya merasa kalah. Belum benar-benar kalah.

Seperti ada yang menghantam perlahan. Layaknya sembilu yang merobek pelan pada sisi hati. Sesuatu yang entah apa itu namanya.

Mengapa mencintaimu bisa sekhawatir ini? Sepandai-pandainya manusia berkata tak boleh egois. Hati ini selalu tak mau merasa kalah. Tapi aku tak ingin menang. Ah, apa ini?

Aku merasa kalah, tapi tak ingin menang.
Ini hanya bagian orasi hati, yang ingin sekali kuucap kencang.
Seperti ada yang sesak dan sesuatu yang menahan. Memaksa. Sangat pilu.

Tenang.
Sabar.
Dalam doa.
Mencintaimu begitu sembunyi. Sunyi. Sepi. Dan tahu diri.

Biarlah aku sibuk mendoakanmu, dan kamu semoga bersedia untuk mengaminkan.

Tetaplah tenang, aku baik-baik saja. Semoga ini hanya sebatas perasaan. Aku tak kalah. Semoga memang tak kalah.

Seperti inilah aku mencinta. Tetaplah tenang. Menulis adalah kegemaran. Jadi tak usah dipikirkan.

Adalah kamu; kerinduan yang menjadi candu di setiap tulisanku yang tak syahdu. Aku memang tak berjanji akan selalu menulismu, tapi kau berhasil menjadi abadi dalam tulisanku. Aku mencintaimu.

Ditulis pada
17/09/2015, 19:44 WIB
Tangerang
Ara

Selasa, 15 September 2015

Aku Bukan Teroris

Bisa kita berbicara empat mata, sayang? Sedikit menjelaskan bahwa, aku bukan teroris. Iya, aku bukan teroris. Aku hanya perempuan berkerudung besar.

Jadi, kau sebelumnya sudah tahu perintah menutup aurat? Jika sudah. Alhamdulillah, Tuhan sudah memberitahumu. Jika belum, mari kuajak sedikit membuka Al-Qur'an.

"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya),..." (An-Nur: 31)

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, 'Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu,..." (Al-Ahzab: 59)

Sudah kau membacanya, sayang? Sungguh, kerudungku hanyalah kain panjang yang menutupi mahkotaku hingga menjulur ke bawah. Adakah ciri-ciri teroris dariku?

Aku hanya perempuan akhir zaman, yang ingin patuh pada Pencipta. Salahkah aku mengenakan kain selebar ini?

Aku bukan teroris.
Sungguh, hatiku sangat teriris.
Aku bukan teroris, apalagi anggota ISIS. Tak ada bau mistis di perempuan sepertiku yang melankolis.
Sekali lagi,
Aku bukan teroris. Jangan buat aku menangis, hingga meringis.
Aku mohon jagalah lisanmu yang sadis. Aku bukan teroris.

"Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat" (HR. Muslim)

Aku mengenakan kerudung karena aku sadar, Allah ada bukan hanya saat sedang shalat saja. Tetapi Allah ada di setiap waktuku. Maka begitu tidak sopan jika tidak menutup aurat.

Aku mengenakan kerudung karena aku sadar, tujuan akhir hidup bukan hanya cukup di dunia saja. Tetapi di kehidupan berikutnya. Dimana tak ada toleransi lagi. Salah tetap salah. Dosa tetap dosa. Siksa tetap siksa.

Aku mengenakan kerudung karena aku sadar, merayu Allah bukan hanya dari shalat saja. Tetapi dari salah satu kewajiban yang muslimah suka lupakan, menutup aurat. Jika sudah wajib, maka tak ada kata 'belum siap'. Lebih cinta dunia atau Penciptanya?

Aku bukan teroris. Aku sama seperti perempuan lain, yang benci dengan kekasaran. Aku perempuan normal.

Aku bukan teroris. Aku tidak paham cara membidik senapan. Aku tidak tahu cara mengebom sebuah gedung. Aku benar-benar bukan teroris.

Apa yang membuatmu aneh melihatku? Pakaian serba hitamkah? Maafkan aku, jika aku menakutimu. Hitam hanyalah warna kesukaan.

Sayang, maukah kau sedikit berpikir? Bahwa ini hanyalah sebuah perintah dari-Nya. Aku pun jauh dari sempurna. Akhlakku berantakan. Hafalan suratku tidak teratur. Sungguh jauh dari shalehah.

Aku hanya perempuan akhir zaman, yang ingin terus memperbaiki diri. Dan sekali lagi, aku bukanlah teroris.

Ditulis pada
15/09/2015, 22:17 WIB
Tangerang
Ara

Senin, 14 September 2015

Sembunyi

Tuan, akan kupastikan kau tak akan pernah tahu persembunyiannya dan akan kupastikan dia tetap dapat melihatmu dari persembunyian.

Adakah kau tahu lelaki?

Ada seorang perempuan yang rajin sekali melirik matanya ke arah kursimu.

Ada seorang perempuan yang cekatan menoleh ke arah kursimu kala kau tertawa. Senyumpun sepertinya perempuan itu tahu. Seperti ada energi yang menariknya.

Ada seorang perempuan yang memperhatikanmu kala kau berbagi cerita pada selain dirinya.

Adakah kau merasakan sesak hatinya? Adakah kau merasakan hadirnya? Adakah kau merasakan tangisnya yang tak bersuara itu?

Tuan, akan kupastikan kau tak akan pernah tahu persembunyiannya. Persembunyiannya yang paling nyaman. Dimana dia diam-diam melihatmu seraya ucap doa yang tak kunjung henti.

Perempuan itu selalu sembunyi. Dia ada di sampingmu, di belakangmu, di depanmu, dimanapun, dia ada. Dan kala kau hilang dari pandangannya, perempuan itu selalu mencari.

Pada sembunyi; ada cemburu yang ia ceritakan.
Pada sunyi; ada cinta yang ia utarakan.
Pada ramai; ada tertawa yang ia perankan.

Tetaplah tak sadar jika diperhatikan. Ia tetap ingin dalam sembunyi, dalam sepi, dalam sunyi.

Catatan kecil untukmu: Jangan berusaha tahu persembunyiannya. Jangan banyak bertanya. Fokuslah pada bahagiamu. Ia sedang dalam proses menantimu dengan sebaik-baiknya menanti.

Ditulis pada,
14/09/2015, 22:28 WIB
Tangerang
Ara

Selasa, 08 September 2015

Cinta Diam-Diam

Cinta;
Sakit jadi sehat.
Lemas jadi semangat.
Kantuk jadi larut.
Sedih jadi bahagia.
Jahat jadi baik.
Kasar jadi lembut.
Marah jadi ramah.
Hitam jadi putih.
Dan,
Cinta; kamu.

Sesederhana itu mungkin arti cinta. Seperti manusia idiot yang sedang bahagia di antara manusia yang sedang berduka atau manusia gila yang sedang tertawa di antara manusia yang sedang menangis. Adakah kau seperti ini? Itu aku. Hal ini tak kubuat-buat. Tapi suasana hati yang memaksaku untuk idiot dan gila.

Kata anak SD, seperti pandangan pertama. Tapi jika kata mahasiswa, seperti ada yang berdemonstrasi. Memerintahkanku untuk jatuh cinta lagi. Dasar bodoh! Mana ada jatuh cinta dibuat-buat? Sebelum diperintah untuk jatuh cinta, aku sudah berada dalam kubangan. Jatuh. Utuh. Seluruh. Menyatu. Sungguh.

Cinta ini diam-diam. Tak banyak mau. Tak banyak tindakan. Tak banyak ucapan. Jadi, cinta ini diam-diam, akan tetap diam, sampai Tuhan mengizinkannya untuk tetap diam.

Cinta ini akan tenang. Ia lebih dulu melangit di antara gumpalan awan dan bintang-bintang. Indah di antara warna pelangi. Menawan di antara Maha Cinta dan kamu.

Mendengar tawanya, duniaku hampir 100% sempurna. Bunyinya seperti suatu melodi yang mengalun indah dekat telinga. Seperti ribuan kata yang selalu kuhiperbolakan. Hampir sempurna.

Tuhan, cintaku ini diam-diam dan kupikir Engkau tahu dari awal. Sekarang ini, aku mulai sibuk menyebut namanya dan tidak lagi menyebut nama yang lain. Ternyata benar, cinta suatu hari akan datang bertamu di ruang hati dan berharap akan menetap satu atap pada satu rumah hingga ke Surga.

Kematian rasa sudah hilang. Tutur katanya yang sopan membasmi habis kematian itu. Ini bukan sesuatu hal yang cepat, tapi aku hanya merasa, bahwa kamu tepat sekali klop pada hati dan terkunci di dalamnya.

Tak ingin gegabah, aku memintamu hanya pada Yang Punya hatimu. Tak melalui kamu ataupun yang lain. Karena setelah kejadian datangnya cinta ini, aku mengerti. Bahwa Tuhan selalu tepat waktu dalam urusan cinta.

Tulisan ini akan aku akhiri dengan, bahwa aku akan mencintaimu dengan tenang dan aku putuskan, aku akan tetap diam, sampai kamu memintaku melalui Ayahku.

Ya, cinta ini diam-diam.

Ditulis pada,
09/09/2015, 10:35 WIB
Tangerang

Ara