Kamis, 25 September 2014

Perdebatan Aku dan Rindu

"Jangan bermain dengan rindu, adikku tersayang"

Ayolah, aku tak sedang bermain. Aku pun sudah bilang aku tak ingin bermain. Namun rindu terus mengetuk pintu. Aku marah. Aku bukakan pintu dengan tujuan ingin membentaknya.
Ah,
Rindu berhasil masuk. Bodohnya. Ia menerebos begitu saja. Aku sudah berkali-kali mengusirnya.

"Pergilah..." kataku lirih.

Rindu tetap di sana.

Baiklah. Aku tak akan memperdulikannya. Aku tak akan memberi minum. Tak akan kuhidangkan makan. Biar saja. Biar dia bosan dan akhirnya pergi.

Sekali, dua kali aku mengintip dari kamarku. Lihatlah ia masih tetap di sana. Duduk manis dengan anggun, indah, dan dingin. Bahkan aku takut menyapanya.

Detik, menit, jam, bahkan hari sudah dilalui. Rindu masih di sana...

Bagaimana ini?
Rindu kurang ajar!
Tak sopan!

Pada akhirnya, aku memberanikan diri. Satu langkah, dua langkah aku mendekatinya. Semakin dekat. Sangat dekat. Aku memilih duduk di samping kanannya. Apa yang terjadi?

Lihatlah, ia menangis. Aku merasakannya. Begitu pilu. Mengiris. Miris. Emosi.

"Untuk apa kau kemari?" aku mulai pembicaraan.
"Aku ingin bertemu dengan sang tuan"
"Ayolah. Tak usah menemuinya" jawabku tak semangat. "Kau akan tetap merindu sendirian. Kesepian. Tak usah banyak harap" lanjutku.
"Apa bukti kau bisa berbicara seperti itu?" tanyanya. Ia memperbaiki posisi duduknya. Kini aku dan rindu saling berhadapan. Semakin dalam saja rasa pilu ini ketika melihat mata sembabnya yang selalu basah.
"Bagaimana tidak? Kau sering diabaikan. Aku lelah harus membawamu menemuinya. Tak pernah ada hasil. Terlalu sering pengabaian yang kau terima" jelasku, hampir menangis. Hening untuk beberapa saat. Desir angin membuat sedikit tubuh menggigil.
"Dia juga merinduimu" jawabnya singkat. Namun mampu membuatku beku dan kemudian aku tertawa.
"Tidak..."
"Iya. Dia merinduimu"
"Tidak...Tidak mungkin"
"Bukankah hatimu hebat? Selalu memiliki firasat yang selalu benar. Kadang hal yang kau tebak tentangnya selalu terjadi. Seolah kau memiliki kontak batin dengannya. Ketika kau berdoa, hatimu begitu lembut. Kau selalu merasa dekat dengannya bukan? Kau tahu mengapa aku menangis? Aku merasakan semuanya. Sang tuan memanggil. Aku sungguh dekat dengannya"

Aku menangis...

"Tapi maksud dari kejadian lalu apa? Mengapa ia mengabaikanmu?"
"Kau sudah tahu jawabannya. Tak perlu aku menjelaskannya" kata sang rindu meyakinkan.

Aku menunduk...
Sangat dalam...
Tangisku semakin kencang...
Terus menangis pada detik jam,
Dengan angin yang sesekali menyelinap masuk...

"Hei, kau sungguh mencintainya?" rindu mengangkat wajahku. Menatapku lamat. Tidak. Aku tidak akan menjawabnya. Tangisku semakin tak karuan. Aku, aku benar-benar merindukannya. Aku sesak. Sangat sesak.

"Tidak. Aku tetap tidak ingin mengantarmu" jawabku bersama suara sesenggukkan. "Aku takut. Aku terlalu takit. Aku sering merasai cemburu, karena rindu terlalu banyak diabaikan. Kau terlalu banyak diabaikan! Sudah. Hentikan semuanya! Aku perlu waktu untuk semua ini. Kau lihat?" aku menunjuk seluruh ruangan. "Ruangan ini banyak yang rusak. Aku butuh waktu untuk memperbaikinya. Aku akan mengurusmu. Hingga tiba saatnya. Kau boleh tinggal di sini. Sampai si tuan membawa rindu untuk ruangan ini. Dengan begitu semua kembali normal. Kini firasatku, tuan akan kembali. Ya, dia akan kembali. Berbesar sabarlah. Aku tak ingin buru-buru lagi dalam hal ini" aku berusaha tenang. "Ya. Aku mencintainya. Sungguh mencintainya..." butiran kilau jatuh kembali dari mataku.

"Kau ingin minum apa?" tanyaku berusaha tersenyum.

Rindu tak menjawab. Ia hanya membalas senyumanku. Sangat manis.

Salam,
Raa

14:42 WIB, 25 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar